Minggu, 06 April 2008

RUMAHKU MADRASAHKU

Bagi keluarga muslim, sebuah rumah bukan hanya sekedar tempat melepas lelah, tetapi juga madrasah, tempat semua anggota keluarga belajar tentang banyak hal, dengan orang tua sebagai guru utamanya.

Sebagai sebuah madrasah, maka rumah yang kita tempati harus menjadi tempat yang nyaman untuk proses pembelajaran semua anggota keluarga. Setiap keluarga harus mendorong setiap anggota keluarganya untuk memanfaatkan waktu di rumah untuk belajar tentang banyak hal.

Berbeda dengan madrasah pada umumnya, dalam sebuah keluarga, sesungguhnya setiap orang bisa menjadi guru bagi anggota keluarga lainnya. Artinya, setiap orang bisa membagi ilmu yang dimiliknya dan menunjukkan nilai-nilai terbaik yang bisa dicontoh oleh anggota keluarga lainnya. Akan tetapi orang tua tetaplah menjadi guru utama dalam rumah tangganya.

Sebagai guru utama, orang tua harus menjadi teladan, contoh ideal bagi anak-anaknya. Mereka harus bisa menunjukkan semangat belajar yang tinggi di rumah sehingga anak-anak termotivasi untuk selalu belajar. Bagaimana mungkin seorang anak bersemangat belajar di rumah jika setiap saat ia melihat orang tuanya lebih senang menghabiskan waktu di depan televisi.

Bersahabat dengan Buku

Buku adalah gudang ilmu. Bermacam ilmu dan informasi bisa kita cari dalam buku. Orang-orang terdidik dan senang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah lepas dari buku. Oleh karena itu, sudah semestinya setiap keluarga muslim berusaha mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai buku sejak mereka masih kecil.

Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan sikap mencintai buku pada diri anak-anak kita. Yang paling utama adalah orang tua harus menunjukkan terlebih dahulu rasa cintanya terhadap buku.

Bagaimana mungkin seorang anak bisa mencintai buku jika ia tidak pernah melihat orang tuanya membaca buku. Sebaliknya, jika seorang anak terbiasa melihat kedua orang tuanya begitu asyik menikmati buku setiap hari, maka akan lebih mudah bagi orang tua itu menularkan kebiasaan membaca buku kepada anak-anaknya.

Selain itu, sejak masih bayi, hendaknya orang tua sudah memperkenalkan buku kepada anak-anaknya. Saat ini, hampir semua toko buku besar menyediakan berbagai jenis buku untuk anak-anak, bahkan buku-buku untuk bayi yang terbuat dari bahan-bahan yang aman bagi mereka.

Buku-buku untuk bayi ini ada yang berbahan dasar kertas yang tebal, karet ringan sampai buku berbahan dasar kain. Dengan bahan dasar yang aman seperti itu, orang tua tidak perlu khawatir anaknya menggigit buku-buku itu.

Buku-buku jenis ini selain berfungsi sebagai mainan juga dimaksudkan untuk memperkenalkan bentuk buku kepada mereka. Dengan mengenalkan buku sebagai mainan mereka, diharapkan mereka akan mengenal buku sejak dini, sehingga mereka bisa mencintainya. Bukankah pepatah kita mengatakan, tak kenal maka tak sayang?

Untuk anak-anak yang sudah lebih besar atau sekitar dua tahun keatas, kita sudah bisa membelikan mereka buku anak-anak dengan bahan dasar kertas seperti buku pada umumnya. Mereka biasanya menyukai buku-buku dengan gambar-gambar besar penuh warna dan sedikit huruf. Hampir semua penerbit buku menerbitkan buku untuk balita dengan gambar penuh warna dan sedikit huruf.

Cara lain menumbuhkan rasa cinta kepada buku adalah dengan membacakan buku cerita kepada anak-anak. Kita bisa membacakan cerita dalam buku itu sambil menunjuk gambar-gambar yang ada dalam buku itu. Meskipun buku yang kita bacakan sangat sedikit ceritanya, kita bisa menambahkannya dengan cerita kita sendiri, sehingga fungsi cerita dalam buku itu hanya sebagai guide atau penunjuk yang bisa kita kembangkan sendiri.

Membacakan cerita kepada anak-anak selain bisa menumbuhkan rasa cinta mereka kepada buku, juga bisa kita manfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dan mengajarkan banyak hal kepada anak-anak, termasuk menyelipkan do’a-do’a pendek dalam cerita itu.

Meskipun pada usia dua tahun lebih kita sudah memberikan buku dengan bahan utama kertas, tetapi akan lebih baik jika buku-buku itu tidak kita pisahkan dari mainan lainnya. Mengapa demikian, karena dunia anak-anak adalah dunia mainan. Dengan meletakkan buku di tengah mainan mereka, maka mereka akan terus dekat dengan buku. Ingat, anak-anak belum bisa membedakan antara mainan dengan buku. Artinya, mereka menganggap buku adalah salah satu mainan mereka.

Cara lain, kita pun bisa meletakkan buku yang kita baca sendiri di tempat-tempat yang mudah dilihat anak-anak. Kita bisa meletakkannya di meja makan, di tempat tidur atau di dapur. Kita bisa melakukan itu sambil membacanya di depan anak-anak.

Selain itu, kita juga bisa mengajak anak-anak mengunjungi toko-toko buku dan meminta mereka memilih sendiri buku yang ingin mereka beli. Dengan begitu mereka merasa dihargai, sehingga kecintaannya terhadap buku semakin meningkat.

Jika anak sudah mencintai buku, apalagi keranjingan membaca buku, maka tidak sulit bagi orang tua untuk mengarah mereka dalam mencari ilmu di mana pun mereka berada. Dengan banyak membaca, insya Allah ilmu mereka akan mudah bertambah dan kedewasaan berpikir mereka akan tumbuh dengan baik.

Rumah Yang Penuh Do’a

Do’a adalah ruh ibadah. Dalam kehidupan seorang muslim, kita tidak bisa lepas dari do’a. Dalam berbagai kegiatan, kita disarankan untuk selalu berdo’a sebelum memulainya. Minimal kita membaca basmalah untuk memulai setiap pekerjaan.

Berdo’a juga merupakan salah satu cara terbaik yang bisa kita lakukan jika kita mengharapkan kebaikan atau ketika kita dilanda musibah. Orang-orang yang percaya bahwa oleh Allah swt. mendengar do’anya akan lebih tegar jiwanya dan hidupnya lebih tenang, karena percaya akan pertolongan Allah.

Oleh karena itu, sudah semestinya setiap keluarga muslim selalu berusaha menyuburkan do’a dalam rumahnya. Kedua orang tua harus menunjukkan pentingnya do’a bagi mereka.

Sebelum mengajarkan bacaan do’a, akan lebih baik jika orang tua menunjukkan bagaimana berdo’a di depan anak-anaknya di berbagai kesempatan, seperti selepas shalat, di meja makan atau menjelang tidur. Setelah menunjukkan cara dan bacaan do’a, barulah kita mengajarkan bacaannya.

Banyak cara mengajarkan anak-anak berdo’a. Bisa kita lakukan pada saat doa itu harus dilakukan, misalnya ketika mereka hendak makan. Kita bisa meminta mereka mengikuti bacaan (do’a) kita. Bisa juga di kesempatan lain, misalnya ketika kita sedang menidurkan mereka atau ketika kita sedang bermain dengan mereka.

Kita juga bisa mengajarkan doa atau mengingatkan hapalan do’a mereka ketika kita sedang membacakan buku-buku cerita. Saya biasa menyelipkan do’a yang sebenarnya tidak ada dalam cerita buku, ketika saya sedang membacakan buku untuk anak-anak saya. Dengan sedikit penambahan cerita, kita bisa membelokkan cerita yang membuat si tokoh dalam buku itu harus berdoa sebelum makan atau sebelum tidur.

Menyelipkan doa juga sering saya lakukan jika saya sedang bercerita tanpa buku kepada anak-anak. Do’a itu saya selipkan lewat tokoh yang harus berdo’a atau lupa berdo’a, tetapi kita hadirkan tokoh lain yang mengingatkan tokoh tadi untuk berdoa.

Misalnya, saya sedang bercerita tentang si kancil yang berhasil melarikan diri dari kejaran harimau. Di akhir cerita saya selipkan bagaimana si kancil mengucapkan syukur (hamdalah) kepada Allah karena selamat dari kejaran harimau.

Kemudian kita ceritakan bahwa karena lapar, si kancil pulang ke rumahnya dan minta makan. Disitulah kita selipkan do’a makan. Begitu pula jika si kancil merasa mengantuk dan ingin tidur. Disitu kita bisa selipkan do’a mau tidur. Kita bisa meminta anak kita mengajari si kancil bagaimana do’a sebelum makan jika dalam cerita kita si kancil belum bisa berdoa.

Buatlah Waktu Wajib Belajar

Meskipun kita harus berusaha menunjukkan kepada anak-anak bahwa belajar bisa dilakukan kapan pun, tetapi alangkah lebih baik jika kita juga memiliki waktu wajib belajar yang disepakati oleh semua anggota keluarga.

Waktu wajib belajar ini harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga, tidak terkecuali orang tua, kecuali jika orang tua tidak berada di rumah pada jam yang telah ditentukan.

Pada saat jam wajib belajar berlaku, sebaiknya kita mematikan televisi sehingga kegiatan belajar wajib ini tidak terganggu oleh acara televisi. Kalau perlu, telepon pun bisa kita matikan sesaat, kecuali jika telepon itu dimanfaatkan untuk hal-hal yang sangat penting.

Sebenarnya tidak ada patokan waktu ideal bagi keluarga untuk menetapkan jam wajib belajar ini, sepanjang semua anggota keluarga bisa menyepakatinya. Anda bisa memilih waktu setelah shalat maghrib sampai masuk waktu isya’. Waktu ini sebenarnya sangat bagus, tetapi sulit menyertakan orang tua yang bekerja karena biasanya mereka masih berada di perjalanan.

Jika semua anggota keluarga harus terlibat, mungkin waktu selepas isya atau pukul delapan malam bisa kita manfaatkan sebagai waktu wajib belajar. Waktu wajib belajar ini tidak harus lama. Cukup satu jam. Jika jam wajib belajar ini kita terapkan secara rutin dan konsisten, insya Allah rumah kita benar-benar bisa menjadi madrasah yang efektif bagi seluruh anggota keluarga.

Dengan adanya waktu wajib belajar, bukan berarti di luar waktu itu kita tidak perlu lagi belajar atau tinggal menonton televisi sepuasnya. Waktu wajib belajar hanyalah waktu yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan lain selain belajar. Artinya, di luar waktu itu, kita masih bisa memanfaatkan waktu untuk membaca buku, membantu PR anak-anak atau hal lain.

Yang penting, orang tua harus memberikan contoh yang baik untuk selalu memanfaatkan waktu di rumah untuk belajar, terutama dengan membaca buku-buku agama. Dengan begitu, anak-anak kita akan mudah mencontoh apa yang kita lakukan tanpa perlu kita bersusah payah menyuruh mereka. Wallahu a’lam bish-shawwab.

BIJAK MENGHADAPI TELEVISI

Televisi kini sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari masyarakat modern. Bukan hanya di kota, bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa televisi menjadi barang kebutuhan sehari-hari.

Lihat saja di sekitar kita. Rasanya, setiap rumah belum lengkap tanpa televisi. Bahkan di rumah kontrakan sekalipun, televisi sudah menjadi perlengkapan wajib yang harus tersedia. Sofa dan kompor tidak perlu dicari, asal televisi ada, sebuah rumah atau kontrakan terasa sudah lengkap.

Televisi memang bukan barang haram, tetapi disadari atau tidak, televisi memberikan banyak efek dan pengaruh negatif bagi penontonnya. Bukan tidak ada gunanya sama sekali, tetapi efek mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Manfaat menonton televisi terletak pada hiburannya. Kalau pun ada unsur pendidikannya, rasanya kecil saja. Apalagi stasiun-stasiun televisi kita lebih memikirkan pasar ketimbang mutu. Jadi, jangan harap televisi kita lebih banyak menyajikan tontonan bermutu, apalagi mendidik.

Bukannya program televisi yang bermutu dan mendidik tidak ada, tetapi jumlahnya sangatlah kecil dibandingkan jumlah seluruh siaran televisi. Itu pun belum tentu banyak ditonton pemirsa, karena pada saat yang bersamaan lebih dari sepuluh chanel lain menyuguhkan program lain yang mungkin saja dianggap lebih menarik oleh penonton.

Bagi anak-anak, efek negatif televisi lebih besar lagi bahayanya. Apalagi jika tontonan yang tidak sehat disaksikan oleh anak-anak yang belum bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Contoh kasus yang mungkin masih hangat dalam ingatan kita adalah program tayangan Smack Down yang mengilhami banyak anak-anak untuk mencontoh aksi-aksi kekerasan yang sesungguhnya bohongan itu.

Bohongan atau tidak, bagi anak-anak, tayangan seperti itu sungguh mengasyikkan dan akan lebih mengasyikkan lagi jika mereka sendiri mempraktekkannya dengan teman-temannya. Maka berjatuhanlah korban-korban di berbagai daerah akibat tayangan sampah seperti itu. Alhamdulillah, tayangan itu akhirnya di-stop karena mendapat protes dari banyak pihak.

Puasa Televisi, Mungkinkah?

Mengingat begitu besarnya efek negatif televisi, terutama bagi anak-anak, sebenarnya langkah yang paling efektif untuk menekan efek negatif itu adalah dengan tidak menyalakan televisi sama sekali. Kalau perlu di rumah tidak perlu ada televisi. Tapi mungkinkah?

Mungkin saja. Jangan heran jika di zaman seperti ini masih ada keluarga yang dengan kesadaran penuh sengaja tidak membeli televisi. Bukan karena tidak punya cukup uang, tetapi mereka tidak mau televisi mengotori dan memenuhi otak anak-anak mereka dengan sampah tayangan televisi yang tidak sehat.

Penulis buku-buku keluarga dan parenting Islam, M. Fauzil Adhim, salah satu contohnya. Sebagai penulis buku-buku best seller rasanya mustahil beliau tidak memiliki cukup uang untuk membeli televisi. Tetapi beliau tegas menolak televisi di rumahnya. Dan beruntung ketegasannya didukung oleh isteri dan anak-anaknya.

Saya yakin tidak mudah bagi penulis buku laris Kupinang Engkau dengan Hamdalah dan isterinya menjelaskan kepada anak-anaknya betapa tidak ada gunanya televisi. Kalau kita berkomitmen kepada isteri, mungkin kita mampu. Tetapi kepada anak-anak? Pasti sulit memberikan pengertian kepada mereka. Apalagi teman-temannya di sekolah kebanyakan pecandu televisi.

Diet Televisi

Bagi kita yang belum mampu memutuskan hubungan dengan televisi sepenuhnya, maka kita harus menerapkan pengawasan yang ekstra ketat terhadap tayangan yang ditonton anak-anak, jika kita ingin meminimalisir pengaruh buruk televisi.

Saya terpaksa harus menekankan kata ‘meminimalisir’ karena memang hanya itulah hasil maksimal yang bisa kita lakukan jika kita masih menyediakan televisi di rumah. Tidak ada orang yang mampu memproteksi seratus persen pengaruh negatif televisi selama televisi masih ditonton.

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menerapkan diet televisi. Artinya kita harus bisa membatasi durasi atau lamanya waktu menonton. Waktu menonton maksimal untuk anak-anak adalah 2 jam setiap harinya. Jika anak-anak menonton lebih dari batas maksimal itu, berarti akan banyak waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk bermain dan membaca buku, terbuang dengan percuma. Karena itu, orang tua harus tegas mengontrol waktu menonton mereka.

Di sisi lain, orang tua jangan sampai memiliki jam menonton sendiri di luar jam menonton mereka. Artinya, jika jam menonton anak-anak sudah selesai, sementara waktu tidur mereka belum tiba, hendaknya orang tua menjadi panutan mereka dalam mematikan televisi. Orang tua bisa menemani mereka mengerjakan PR atau membaca buku bersama anak-anak. Jika tidak membantu mereka, orang tua bisa mengerjakan kegiatan rumah tangga lainnya.

Sangat tidak mendidik jika kita membatasi jam menonton, dengan mengusir mereka dari ruang televisi, sementara kita sendiri tidak beranjak dan asik mengganti-ganti chanel televisi yang kita sukai. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima logika kita bahwa menonton tidak baik bagi mereka sementara bagi orangtuanya tidak ada masalah?

Karena itu, jika kita tegas terhadap jam menonton mereka, kita pun harus tegas terhadap kesenangan kita sendiri. Jangan sampai kita sendiri menampakkan diri di depan anak-anak sebagai orang yang keranjingan televisi atau keranjingan tontonan tertentu. Jika itu terjadi, mustahil anak-anak bisa meninggalkan ruang televisi dengan ikhlas dan merubah perhatiannya kepada yang lain.

Sayangnya, banyak orang tua yang justru bersaing dengan anak-anaknya dalam memilih chanel. Si anak suka sinetron A, sementara orang tua suka sinetron B. Yang lebih parah, jika anak dan orang tua memiliki acara kesayangan yang berbeda dengan jam tayang yang sama, keduanya bisa rebutan remote dan tidak mau saling mengalah. Na’udzu billah!

Banyak keluarga yang kadang mengambil jalan yang semakin fatal. Supaya tidak terjadi rebutan remote antar anggota keluarga karena acara kesenangan mereka diputar pada jam yang sama, maka diputuskanlah membeli satu televisi lagi yang diletakkan di ruang lain. Bisa di ruang makan atau di ruang tidur. Bahkan jangan heran jika ada keluarga yang setiap kamarnya memiliki televisi sendiri.

Kelihatannya menyenangkan, setiap orang bisa menonton acara kesukaannya sendiri-sendiri tanpa harus diganggu dengan berpindah chanel kesukaan orang lain. Orang tua tidak perlu pusing-pusing mengurusi anak-anak pada jam-jam menonton sinetron kesayangannya. Cukup suruh anak-anak nonton tayangan kesukaannya masing-masing di ruangan lain, semua sudah beres.

Beres? Kelihatannya memang beres. Tapi orang tua seperti ini tidak sadar, bahwa mereka sedang menumpuk sampah di otak anak-anak mereka. Satu televisi saja bisa membawa sampah tontonan yang luar biasa banyaknya, apalagi jika setiap ruang di rumah dipenuhi televisi.

Temani Anak Menonton

Selain membatasi durasi atau lamanya waktu menonton dalam sehari, orang tua juga harus mengatur jam-jam boleh menonton televisi, termasuk memilihkan tayangan apa saja yang layak mereka tonton.

Anak-anak pada dasarnya belum bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Memori mereka hanya mampu memamah semua informasi yang masuk kedalam otak mereka tanpa filter yang cukup. Karena itu, peran orang tua sangat penting memilihkan tayangan yang baik untuk mereka.

Selain memilihkan, orang tua juga seharusnya menemani anak-anak menonton, terutama anak balita. Apa pun jenis tayangan yang mereka tonton, termasuk filma kartun dan lagu anak-anak, kita tetap harus menemaninya. Karena hanya dengan menemaninya kita bisa melihat sendiri bagaimana tayangan yang dilihat mereka, sehingga ketika ada adegan-adegan tertentu yang butuh koreksi atau butuh penjelasan bisa segera kita jelaskan kepada mereka.

Dalam memberi penjelasan, kita harus melakukannya dengan penuh kasih sayang. Misalnya di televisi terdapat adegan anak yang memukul temannya, maka kita harus segera menjelaskan bahwa apa yang dilakukan tokoh di televisi itu tidak patut dicontoh oleh mereka.

Dengan menemani anak menonton dan memberi penjelasan kepada mereka, maka kegiatan anak dalam menonton dapat kita kontrol dan kita arahkan sesuai pengetahuan yang kita miliki. Akhirnya, semua kembali kepada kita orangtuanya. Jika kita tegas dalam memberi kesempatan menonton kepada anak-anak kita, termasuk tegas terhadap keinginan menonton dalam diri kita sendiri, insya Allah anak-anak kita akan mudah mengikuti apa yang kita putuskan. Wallahu a’lam bish-shawwab.

MENGALIHKAN PERHATIAN ANAK DARI TELEVISI

Meskipun ada sisi positif yang dibawa oleh televisi, yaitu sisi edukatif dan hiburannya, tetapi televisi jauh lebih banyak membawa mudharat bagi anak-anak. Televisi lebih banyak memberikan sampah ketimbang informasi yang mendidik anak-anak.

Pengaruh negatif paling kecilnya, anak akan kehilangan waktu untuk bermain bersama teman-teman karena asyik di depan televisi sehingga banyak potensi dalam dirinya yang tidak berkembang karena kurangnya sosialisasi dan bermain bersama teman-temannya.

Sebagai orang tua, kita tentu tidak mau perkembangan potensi dasar anak-anak kita terganggu karena racun televisi yang kita sediakan di rumah kita sendiri. Karena itu, jangan pernah lengah untuk mengawasi dan membatasi kebiasaan anak-anak menonton televisi. Sekali kita lengah, anak-anak akan dengan mudah kecanduan televisi. Jika itu terjadi, akan cukup sulit bagi kita untuk membuatnya meninggalkan televisi.

Banyak orang tua yang merasa kehilangan akal karena melihat anak-anaknya sudah terlanjur menyukai televisi. Bangun tidur, nonton televisi. Sarapan sambil nonton televisi. Bahkan jika kamar mandi dipasangi televisi pun mungkin mereka mandi sambil menonton televisi. Pulang sekolah pun yang pertama mereka cari adalah remote control televisi.

Jika anak sudah sampai pada taraf adictif (kecanduan) seperti itu, memang tidak mudah bagi orang tua untuk menyuruh mereka belajar atau bermain dengan teman-temannya. Kalau pun mereka beranjak dari ruang televisi, paling-paling ia main ke rumah temannya yang juga sedang menonton acara televisi yang sama. Jadi aktivitasnya pada dasarnya sama, menonton televisi. Hanya saja tempatnya berpindah ke rumah tetangga.

Akan tetapi orangtua tidak perlu khawatir, apalagi sampai putus asa. Banyak cara memutus ketergantungan anak terhadap televisi. Apalagi pada anak-anak yang taraf kecanduannya hanya kecil saja atau hanya pada satu atau dua acara favoritnya saja. Dengan sedikit kesabaran dan rasa sayang yang besar terhadap masa depan anak-anak, insya Allah setiap orangtua akan mampu mengalihkan perhatian mereka dari televisi.

Perlu disadari, kebutuhan dan kecenderungan setiap anak tentu berbeda-beda. Karena itu, orangtua harus memahami kebutuhan personal setiap anak, sehingga kita bisa mengambil cara yang paling tepat untuk mengalihkan perhatian mereka.

Sediakan Tempat Bermain dan Permainan kesenangannya

Pada anak-anak, terutama di bawah tujuh tahun, dunia utama mereka sesungguhnya adalah dunia permainan. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk bermain. Kalau pun mereka harus belajar di sekolah, pelajaran yang paling baik untuk mereka adalah pelajaran yang diberikan sambil bermain.

Sebenarnya setiap permainan memiliki efek edukasi atau pendidikan bagi anak-anak. Efek edukasi yang dimaksud adalah merangsang salah satu potensi dasar yang dimiliki anak-anak sehingga bisa berkembang secara maksimal sesuai tingkat perkembangan usianya, seperti perkembangan fisik, motorik dan kognitif. Semua itu bisa mereka dapatkan dengan bermain. Karena itu, orang tua harus jeli dan mampu memilihkan jenis-jenis permainan yang bisa membantu perkembangan mereka.

Saat ini banyak dijual buku-buku panduan permainan kreatif yang bisa diajarkan orang tua kepada anaknya dengan cara dan peralatan yang paling sederhana. Selain itu, banyak pula tersedia produk-produk permainan edukatif yang beragam bentuknya, yang memungkinkan anak-anak kita bisa memilih jenis permainan edukatif yang mereka sukai, mulai mainan yang berbahan dasar kayu sampai vcd interaktif.

Menyediakan tempat bermain dengan beragam mainan yang mendidik bisa mengalihkan perhatian anak-anak dari televisi. Mainan yang kita sediakan tidak harus mahal, yang penting bisa membuat mereka senang memainkannya.

Anak saya yang kedua (saat ini tepat berusia 3 tahun), lebih memilih bermain dengan mobil-mobilan kecilnya yang tidak berbaterai ketimbang mobil-mobilan yang bisa dijalankan dengan baterai. Dia sangat suka memegang mobil kecilnya itu sambil menjalankannya di atas meja, kursi, tembok bahkan di mana saja. Jika sedang berfantasi dengan mobilnya itu, ia bisa menghabiskan waktu yang lama.

Kita juga bisa membelikan cd interaktif dan cd anak-anak Islami yang sekarang banyak dijual di toko-toko buku. Selain bisa mengalihkan perhatian anak-anak dari televisi, cd interaktif juga bisa membantu merangsang kecerdasan anak-anak, sementara cd anak-anak Islami dapat membantu kita menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak.

Hanya saja, cd anak-anak dan cd interaktif bukan permainan murah. Cd anak-anak harus diputar dengan vcd player, sementara cd interaktif harus diputar di komputer dengan spesifikasi tertentu.

Ada saatnya anak-anak jemu dengan mainan kesayangan mereka. Pada saat-saat seperti ini, seringkali kita harus terlibat aktif memberikan permainan alternatif yang mereka sukai. Beragam permainan kecil bisa kita lakukan bersama anak-anak, seperti menendang bola atau membuat rumah-rumahan.

Setiap permainan pada dasarnya bisa diterima oleh anak-anak. Hanya saja, kita harus mengakomodir permainan seperti apa yang lebih mereka sukai. Jangan sekali-kali kita memaksakan permainan tertentu yang tidak sukai anak dan berhentilah jika satu permainan sudah membuatnya bosan.

Ganti dengan Dongeng dan Buku

Mengalihkan perhatian anak-anak dari televisi bisa kita lakukan dengan mendongeng dan membacakan buku cerita. Sediakan buku-buku cerita bergambar yang menarik anak-anak untuk melihatnya. Tunjukkan kepada mereka betapa bagusnya gambar-gambar di buku itu. Jika mereka belum bisa membaca, ceritakan atau bacakan sedikit cerita didalamnya.

Jika sejak bayi anak-anak sudah dibiasakan akrab dengan buku, biasanya akan lebih mudah bagi orangtua untuk mengalihkan perhatian mereka kepada buku. Apalagi jika anak kita sudah menyukai buku cerita dengan tema-tema tertentu, kita tinggal memilihkan jenis buku yang sama dengan judul yang berbeda.

Selain dengan buku, perhatian anak juga bisa kita alihkan dengan dongeng yang menarik. Anak-anak yang sejak kecil sudah terbiasa mendengar dongeng dari orangtuanya akan mudah tertarik jika orang tua mendongeng.

Mendongeng sangat cocok kita lakukan menjelang tidur atau sebelumnya. Daripada anak menghabiskan waktu di depan televisi sebelum tidur, lebih baik mereka menghabiskan waktunya dengan mendengar dongeng. Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa kita masukkan dalam dongeng-dongeng. Apalagi dalam dongeng itu kita menceritakan kisah-kisah para rasul. Jadi mendongeng disini jangan dipahami hanya menceritakan dongeng khayalan semata, tetapi juga menyangkut cerita para nabi dan orang-orang saleh.

Kegiatan Bermanfaat untuk Remaja

Jika anak-anak kita sudah beranjak remaja, kita tentu tidak bisa menggunakan cara-cara seperti di atas. Anak-anak remaja yang sudah keranjingan televisi harus dialihkan perhatiannya dengan kegiatan yang bermanfaat tetapi tetap ia senangi. Kalau perlu iming-imingi dengan hadiah tertentu jika ia mampu menjalani diet televisi dalam jangka waktu tertentu.

Banyak kegiatan yang bisa kita tawarkan kepadanya, terutama kegiatan yang mendukung hobi dan kesenangannya. Kita bisa menawarkannya kursus dalam pelbagai bidang, baik bidang akademik (bimbingan belajar dan bahasa Inggris) maupun kursus keterampilan.

Dengan memanfaatkan waktu luang mereka selepas sekolah untuk kegiatan kursus, maka secara otomatis waktu luang yang mereka punya hanya sedikit. Waktu yang sedikit inilah yang akan ia manfaatkan untuk kegiatan-kegiatan lain di rumah seperti mengerjakan PR, makan dan mandi serta berisitirahat. Mungkin mereka tetap memiliki waktu menonton televisi, tetapi tidak jadi soal jika waktu menonton mereka bisa kita batasi semaksimal mungkin.

Saya masih ingat, pada awal-awal tahun 90-an (atau malah akhir 80-an), ketika belum ada televisi swasta seperti sekarang ini, saya pernah membaca sebuah artikel di majalah wanita. Saya lupa nama majalahnya, tetapi saya masih ingat ceritanya.

Menurut majalah itu, di sebuah keluarga di Barat (kalau tidak salah di Amerika), terdapat seorang remaja puteri yang keranjingan nonton televisi. Oleh orangtuanya ia dijanjikan akan diberikan hadiah (kalau tidak salah nilainya US$ 1000) jika ia tidak menonton televisi dalam satu tahun. Selama satu tahun itu, orangtuanya juga memasukkan remaja tadi ke kursus menjahit.

Ternyata, langkah orangtuanya berhasil. Baru beberapa bulan, ia sudah bisa menjahit dan mendapat order dari teman-temannya. Bahkan, dalam satu tahun, penghasilan dari menjahitnya itu melebihi nilai hadiah yang dijanjikan orang tuanya. Meskipun begitu, di akhir tahun orangtuanya menunaikan janji dengan memberi hadiah sesuai yang mereka janjikan.

Jika saja banyak orangtua bisa melakukan hal seperti itu kepada anak-anaknya, alangkah banyaknya remaja-remaja kita yang sukses dengan mencoret acara televisi dalam agenda harian mereka. (Wallahu a’lam bish-shawwab)

Anakku Masa Depanku

SALAH satu tujuan dalam membangun kehidupan rumah tangga adalah hadirnya seorang anak yang menjadi buah hati dan cahaya mata bagi kedua orang tuanya. Semua pasangan suami isteri tentu mendambakan kehadiran seorang anak sebagai buah cinta kasih mereka. Apalagi, anak juga merupakan penerus darah dan keturunan kedua orang tuanya.

Sayangnya, banyak pasangan suami isteri, baik yang sudah memiliki anak atau belum, yang tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya posisi seorang anak dalam kehidupan sebuah rumah tangga. Kebanyakan orang memandang anak sebagai hak milik mutlak kedua orang tuanya sehingga mereka memperlakukan anak sekehandak hati dan keinginan mereka semata. Padahal Islam telah memberikan bimbingan yang jelas dalam memperlakukan seorang anak.

Anakku Amanah Tuhanku.

Setiap pasangan suami isteri hendaknya menyadari bahwa seorang anak adalah amanah atau titipan yang diberikan Tuhan kepada kita. Ini merupakan prinsip dasar yang harus dipahami oleh semua pasangan suami isteri dalam memandang atau memposisikan seorang anak dalam rumah tangga mereka. Sebagai penerima amanah, kita harus menjaga dan mengantarkan mereka agar mencapai suatu kondisi yang sesuai dengan kehendak Tuhan, pemberi amanah.

Sayangnya, banyak pasangan yang tidak menyadari prinsip dasar ini. Orang-orang yang belum memiliki anak dan berkeinginan kuat untuk memilikinya, seringkali terlalu bernafsu dalam berusaha, sehingga mereka lupa pada prinsip dasar itu.

Mereka menyangka dengan usaha keras yang mereka lakukan, dengan berbagai jenis pengobatan yang mereka jalani dan dengan banyaknya biaya yang mereka korbankan itu buah hati akan hadir mengisi hari-hari mereka. Padahal, jika mereka menyadari prinsip dasar itu, mereka harusnya selalu ingat, betapa pun kerasnya usaha yang kita lakukan, tetapi jika Allah swt. belum berkenan menitipkan amanahnya kepada kita, maka tak ada yang dapat membantu kita.

Ini bukan berarti saya melarang mereka yang belum punya anak untuk berusaha semaksimal yang mereka bisa. Sebagai manusia kita memang diberi kehendak untuk berusaha, tetapi jangan sampai usaha keras kita menutupi mata kita akan prinsip dasar tadi.

Dengan menyadari prinsip dasar itu, segala usaha yang kita lakukan untuk mendapatkan anak akan berujung pada sikap pasrah kepada Allah swt. Artinya, setiap usaha yang kita lakukan pada akhirnya hasilnya kita serahkan kepada Allah swt.

Dengan demikian, kita tidak perlu merasa stress dan putus harapan. Justru kita harus selalu berbaik sangka kepada Allah swt. Mungkin hari ini Allah swt. belum memberikan amanahnya kepada kita, tetapi bisa jadi esok Allah swt. akan memberikannya dengan sebab ikhtiar lain yang mungkin selama ini belum kita lakukan.

Sementara itu, orang-orang yang sudah memiliki anak pun seringkali melupakan prinsip dasar ini. Mereka lupa, atau bahkan tidak tahu, bahwa seorang anak adalah amanah Tuhan yang harus mereka jaga dan pelihara menurut kehendak yang memberi amanah. Mereka menganggap anak adalah buah cinta mereka semata, tanpa ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Karenanya, mereka memperlakukan anak sekehendak hati mereka. Mereka membentuk dan membangun karakter anak-anak mereka sesuai dengan keinginan dan obsesi mereka sendiri.

Biasanya ada dua kesalahan utama yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Pertama, sikap sayang yang berlebihan atau terlalu memanjakan anak. Sebagai orang tua kita memiliki kewajiban untuk menyayangi anak-anak kita, akan tetapi jangan sampai rasa sayang itu membuat kita tidak mampu bersikap proporsional dalam mendidik anak-anak kita. Ketika kita harus berlaku tegas, kita harus tunjukkan ketegasan kita kepada anak-anak kita. Jangan sampai rasa sayang kita membuat kita harus mengalah pada sikap anak kita yang terang-terang salah atau membahayakan dirinya.

Misal, anak kita meminta dibelikan es krim, padahal ia sedang batuk atau sakit panas. Sebagai orang tua yang baik, kita tentu akan berusaha menolaknya bukan membelikannya hanya karena kasihan. Jika rasa sayang kita berlebihan, kita pasti mengalah dan lebih kasihan kalau anak kita terus merengek meminta es krim yang disukainya. Padahal, dalam situasi seperti ini kita harus tegas terhadap anak kita.

Jika dalam situasi seperti ini orang tua menunjukkan sikap mengalah oleh rengekan mereka, maka kondisi seperti ini akan terus berlangsung. Si anak akan menyimpan dalam memori otak mereka, bahwa jika mereka merengek maka orang tua mereka pasti akan memberikan apa yang mereka mau. Akibatnya, setiap mereka memiliki keinginan, jurus seperti itu akan selalu mereka gunakan untuk meruntuhkan hati orang tuanya.

Kedua, sikap orang tua yang terlalu mengekang anak-anaknya. Sebagai orang tua, kita memang berkewajiban menjaga anak-anak kita dari berbagai ancaman atau bahaya yang bisa datang kapan saja terhadap anak-anak kita. Kita perlu berhati-hati menjaga mereka. Hanya saja, jangan sampai kehati-hatian kita itu membuat kita terlalu membelenggu kebebasan mereka menikmati dunianya.

Anak-anak yang besar dibawah kekangan orang tuanya akan tumbuh menjadi orang-orang yang sulit beradaptasi dengan lingkungannya dan kurang berkembang daya kreatifitasnya. Mereka juga tidak mampu membuat keputusan sendiri, sehingga sulit hidup secara mandiri.

Ini bisa terjadi karena sejak kecil mereka terlalu didikte dan tidak diberikan sedikit pun ruang untuk menunjukkan ekspresi dan kecenderungan mereka terhadap sesuatu, sehingga mereka akan tumbuh menjadi anak-anak tanpa inisiatif dan terlalu bergantung kepada orang tuanya.

Jalan tengah di antara dua sikap tadi adalah memberikan kasih sayang yang selayaknya kepada anak-anak kita. Rasa sayang yang kita berikan hendaklah tidak berlebihan dan juga tidak membuatnya terkekang dengan rasa takut kita yang berlebihan terhadap keselamatannya. Rasa sayang yang layak dan sewajarnya akan membuat seorang anak merasa terlindungi, tetapi juga merasa diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan dirinya.

Anakku Masa depanku

Selain sebagai amanah, anak juga merupakan bagian dari masa depan orang tuanya. Setiap orang, baik sudah menikah atau belum, sekali waktu pasti pernah membayangkan bagaimana mengisi masa tuanya nanti. Setiap orang akan merasa lengkap jika masa tuanya dikelilingi oleh anak dan cucu-cucu yang menyayangi dan mencintainya. Bahkan setiap orang pasti mendambakan menutup akhir hidupnya di atas pembaringan di depan anak cucu yang menemaninya dengan penuh rasa sayang.

Sebagai bagian dari masa depan kita, seorang anak bisa mempengaruhi dan bahkan sedikit banyak menentukan bagaimana kehidupan kita kelak. Sepasang suami isteri yang memiliki anak yang berbakti dan sukses sedikit banyak akan ikut menikmati kesuksesan hidup dari anaknya. Masa-masa tuanya bisa jadi akan ia lewati dengan tenang dan menyenangkan, di tengah limpahan kasih sayang anak cucunya.

Begitu juga sebaliknya, sepasang suami isteri yang memiliki anak yang tidak berbakti, baik anak itu sukses maupun tidak, akan lebih banyak menerima aib dan kesusahan dari perbuatan dan perlakuan anaknya. Ia akan melewati masa tuanya dengan gelisah dan kesedihan. Berbagai masalah yang ditimbulkan oleh perbuatan anaknya tentu akan mengusik kehidupan masa tuanya yang seharusnya dilaluinya dengan tenang.

Dalam Islam, seorang anak bukan hanya menjadi bagian dari masa depan orang tuanya di dunia ini, tetapi juga ketika si orang tua sudah berpindah ke alam lain, alam akhirat. Seorang anak yang saleh dapat ‘membantu’ kehidupan orang tuanya di alam barzakh dengan mengiriminya do’a ampunan yang tidak akan ditolak oleh allah swt.

Kita tentu hapal sebuah hadits terkenal berikut ini. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak Adam akan terputus amalnya, kecuali tiga perkara; sodaqah jariyah, anak saleh yang mendoakan orang tuanya dan ilmu yang bermanfaat.”

Ketika seorang manusia sudah meninggal dunia, maka kesempatan emas yang dimilikinya untuk melakukan sebanyak mungkin ibadah kepada Allah swt. berakhir sudah. Buku amalnya pun sudah ditutup dan sudah dapat dihitung kebaikannya. Tidak ada yang bisa menambah pundi-pundi amal kebaikannya, kecuali tiga perkara tadi. Dan anak-anak yang saleh akan banyak menolong kita di alam barzakh kelak, ketika mereka dengan tulus mau mendoakan kita di setiap selesai shalat mereka.

Pendidikan (Agama) Investasi Yang Menyelamatkan

Mengingat begitu berharganya seorang anak dalam kehidupan kedua orang tuanya, maka sudah selayaknya setiap orang tua berusaha membentuk kepribadian anak-anaknya menjadi pribadi yang saleh dan salehah. Sebab, hanya anak yang saleh dan salehah saja yang kelak akan memberi kebaikan dan manfaat kepada kedua orang tuanya, baik ketika orang tuanya masih hidup, maupun ketika sudah meninggal dunia.

Untuk membentuk kepribadian yang soleh dan solehah, seorang anak bukan hanya membutuhkan kasih sayang yang selayaknya dari kedua orang tuanya, tetapi juga pendidikan yang memadai, terutama pendidikan agama.

Pendidikan agama harus diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini, terutama di masa-masa awal perkembangan kehidupannya. Disini peran kedua orang tuanya menjadi sangat penting, dan itu semua berawal dari rumah. Pendidikan agama kepada balita di rumah ini, lebih diarahkan kepada pembentukan kebiasaan dan pemberian keteladanan dari orangtua ketimbang memberikan ajaran-ajaran atau norma-norma secara verbal.

Sejak bayi, seorang anak hendaklah sudah disodorkan contoh-contoh kehidupan keagamaan yang kental dari kedua orang tuanya. Orang tua harus memberi teladan dalam melakukan berbagai ibadah di rumahnya, baik berupa ibadah wajib, seperti shalat maupun ibadah sunnah, seperti membaca al-Qur’an atau ibadah-ibadah lainnya.

Seorang anak yang dibiasakan melihat praktek ibadah yang dihidupkan atau dicontohkan oleh kedua orang tuanya akan merasa nyaman dan terbiasa dengan berbagai jenis ibadah yang kelak harus dijalankannya sebagai seorang muslim. Pengalaman-pengalaman melihat praktek ibadah yang dilakukan kedua orang tuanya di rumah akan terus terinternalisasi dan membekas dalam benak seorang anak. Pada gilirannya, anak akan merasa bahwa ibadah merupakan bagian dari kehidupan keluarganya. Jika dalam mental seorang anak sudah tumbuh kesadaran seperti itu, maka akan mudah bagi guru-guru mereka di luar rumah untuk membantu kita membentuk kepribadian anak-anak menjadi anak-anak yang soleh dan solehah.

Selain mendapat pendidikan agama lewat keteladanan kedua orang tuanya di rumah, anak-anak juga harus diberikan pendidikan di lembaga-lembaga formal, baik berupa pendidikan agama (di TPA dan Madrasaha) maupun pendidikan umum. Dengan bekal pendidikan yang dimilikinya, insya Allah anak-anak kita bisa menjadi generasi rabbani yang bermanfaat bukan hanya bagi kedua orang tuanya, tetapi juga bagi kemaslahatan umat manusia. Amien

Selasa, 01 April 2008

Mendidik Anak di Rumah

Anak yang baik dan berbakti tentu akan menjadi dewa penolong dan pemanis kehidupan orang tuanya, sedangkan anak yang durhaka akan menjadi duri dalam daging yang menimpakan aib dan kesusahan bagi orang tua.
Anak-anak yang baik dan berbakti tidak terbentuk dari sekedar kebetulan atau hanya karena kedua orang tuanya baik. Mereka menjadi anak-anak yang baik bukan karena terlahir dengan pembawaan dan karakter yang sudah jadi alias dari sononya. Mereka menjadi anak yang baik dan berbakti karena pendidikan yang diperkenalkan atau diajarkan oleh kedua orang tuanya di rumah, oleh gurunya di sekolah dan pergaulan di lingkungan sekitarnya.
Dari semua lingkungan pendidikan yang saya sebutkan di atas, peran pendidikan di rumah menjadi faktor yang paling penting dan menentukan dalam membentuk karakter seorang anak. Mengapa demikian? Karena rumah adalah sekolah pertama mereka. Dari rumahlah mereka pertama kali mengenal dunia, mengenal kata, dan mengenal benda. Di rumah juga mereka mengenal kehidupan dan tingkah laku orang-orang terdekat yang mereka sayangi dan kagumi, kedua orang tuanya, setiap hari.
Dalam sebuah hadist yang sangat kita hapal, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Karena itu, sangat penting bagi orang tua memperhatikan pendidikan anak-anaknya di rumah mereka sendiri. Pendidikan disini bukan dalam arti sempit, yaitu mengajarkan anak-anak secara lisan seperti di sekolah. Pendidikan disini harus diartikan secara luas, baik secara lisan, seperti mengajarkan menyanyi atau do’a, maupun pendidikan lain, yaitu sikap dan tingkah laku orang tua, termasuk komunikasi dan interaksi yang kita bangun di rumah, baik terhadap si anak sendiri maupun anggota keluarga lainnya. Inilah yang kita sebut sebagai keteladanan.
Seringkali keteladanan berupa sikap dan tingkah laku anggota keluarga di rumah menjadi faktor yang justru paling banyak menentukan karakter anak-anak kita ketimbang ajaran-ajaran moral yang hanya kita sampaikan lewat lisan kita setiap hari. Meskipun setiap hari kita memberikan ceramah moral sampai berbusa-busa, tetapi jika anak tidak mendapatkan contoh nyata pada kehidupan kedua orang tuanya, maka cermaha-cermaha itu hanya menguap dalam ruang hampa tanpa internalisasi yang kuat dalam memori mereka.
Apalagi untuk anak-anak kecil atau balita yang belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Bagi mereka, sikap dan tingkah laku yang diperlihatkan oleh orang tuanya adalah pelajaran hidup yang akan selalu ditiru dan diingat dalam memori mereka. Apa yang kita perbuat dan kita ucapkan di depan mata mereka akan langsung terekam dalam memori mereka dan mereka akan berusaha menirunya semampu yang mereka bisa.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai orang tua berusaha memanfaatkan waktu terbaik kita di rumah dengan membangun komunikasi dan interaksi yang positif terhadap anak-anak kita. Terutama dengan memberikan teladan lewat sikap, tutur kata dan perbuatan yang bisa mereka jadikan contoh terbaik dalam perkembangan kehidupan mereka.

Tanggung Jawab Siapa?
Seringkali kita salah kaprah menempatkan tanggungjawab terhadap pendidikan anak-anak kita di rumah. Sudah lazim di kalangan kita meletakkan tanggungjawab mendidik anak di rumah hanya pada isteri. Apalagi jika si isteri tidak bekerja.
Padahal, pendidikan anak-anak di rumah adalah tanggung jawab kedua orang tuanya. Bukan hanya ibunya, tetapi juga ayahnya. Memang, untuk para ibu yang tidak bekerja di luar rumah, mereka memiliki waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak-anaknya, tetapi itu bukan berarti melepas begitu saja kewajiban seorang ayah untuk juga mendidik anak-anaknya. Kedua orang tua harus bekerja sama dalam mendidik anak-anaknya, sejak anak-anaknya masih bayi hingga dewasa.
Seorang ibu yang tidak bekerja di luar rumah tentu memiliki waktu yang sangat panjang di dalam rumah. Ia bisa memanfaatkan dan mengatur sendiri waktunya dalam mendidik anak-anaknya. Selain berinteraksi dengan si kecil di dalam rumah, ia bisa mengajak si buah hati berkunjung ke rumah tetangga atau membawanya ke majelis taklim.
Membawa anak keluar dari rumah banyak sekali manfaatnya. Anak bisa bersosialisasi dengan anak-anak tetangga seusianya. Ia juga bisa melihat betapa akrab dan bersahabatnya ibunya dengan para tetangga. Tapi ingat, kehadiran Anda di rumah tetangga jangan dimanfaatkan untuk bergosip atau bergunjing, karena perbuatan tercela itu pun akan tersimpan dalam memori anak kita.
Ibu yang bekerja di luar rumah memang tidak memiliki waktu yang banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Tetapi bukan berarti ia tidak bisa mendidik anaknya dengan efektif. Masa-masa di rumah, jika dimanfaatkan dengan baik untuk membangun komunikasi dan interaksi yang positif dengan si buah hati akan berdampak positif bagi perkembangan kepribadian dan karakternya.
Hal yang sama berlaku pula pada ayah. Seorang ayah bisa ikut terlibat dalam pendidikan anak-anaknya di rumah dengan banyak cara. Ia bisa memanfaatkan saat-saat berada di rumah untuk memeluk si kecil, mengajarkannya shalat, mengaji, do’a-do’a pendek dan membacakan buku cerita.
Ketika isteri kita sudah lelah karena seharian mengurus dan mendidik anak-anak , tidak ada salahnya kita manfaatkan waktu istirahat sepulang kantor untuk menggantikan posisi isteri kita menemani anak-anak sebelum tidur. Kita bisa membacakan buku cerita atau memilihkan pensil warna sambil menemani mereka menggambar.
Jika sebelum maghrib atau sebelum isya kita sudah ada di rumah, tidak ada salahnya kita mengajak mereka shalat di masjid. Jika waktu pulang kita sudah lewat dari waktu isya, kita bisa menjadi imam shalat mereka, meskipun mereka hanya mampu mengikuti satu dua gerakan saja.
Waktu selepas shalat pun bisa kita manfaatkan untuk mengajarkan mereka mengaji. Untuk anak-anak yang masih balita, kita mungkin tidak perlu mengajarkannya secara formal, meskipun banyak anak-anak di usia dua tahun sudah bisa diajarkan huruf al-Qur’an. Kita cukup mengaji sendiri sambil memanggku si kecil. Kita juga bisa menggunakan lidi penunjuk agar dipegang oleh si kecil. Selanjutnya tangan si kecil itulah yang kita gerakkan untuk menunjuk letak ayat-ayat yang sedang kita baca. Hal ini bisa mengalihkan perhatian si kecil dan mengenalkan mereka pada huruf-huruf Hijaiyyah.
Di tempat tidur, kita bisa mengajarkannya menghapal surat-surat pendek atau do’a-do’a harian. Anak-anak yang baru bisa berbicara pun akan sangat mudah menghapalnya jika setiap malam kita lakukan terus menerus sebelum mereka tidur. Bahkan, jangan heran jika suatu waktu si kecil justru menyerobot bacaan Anda, karena ia ingin membaca lebih dulu daripada mengikuti bacaan Anda.
Pengalaman-pengalaman seperti itu tampaknya sangat sepele, tetapi implikasinya akan sangat besar bagi perkembangan pengetahuan dan spiritual si anak. Anak-anak yang terbiasa melihat kedua orang tuanya beribadah akan membuat mereka terbiasa dan mudah meniru ucapan dan gerakan-gerakan dari setiap ibadah. Bagitu juga hapalan ayat-ayat pendek dan doa yang kita biasakan setiap menjelang tidur, akan terus membekas dalam ingatan mereka sampai mereka dewasa.

Diskusikan Hal-hal Prinsipil
Selain harus bekerja sama dan terlibat aktif sesuai porsinya masing-masing, kedua orang tua juga harus kompak dan memiliki tujuan yang sama dalam mendidik anak-anak mereka. Jangan sampai mereka berbeda pandangan, karena perbedaan pandangan dalam mendidik anak akan menimbulkan masalah di tengah jalan. Hal itu tentu akan mengganggu tercapainya tujuan dari pendidikan yang kita berikan. Bahkan, bisa jadi pendidikan yang kita berikan gagal atau tidak sesuai dengan harapan kita.
Oleh karena itu, kedua orang tua hendaknya mendiskusi masalah ini jauh sebelum kelahiran anak mereka, sehingga ketika si buah hati sudah lahir, mereka tinggal menjalankan apa yang telah mereka sepakati. Kesepakatan itu memang tidak harus rigid atau ketat, tetapi menyangkut hal-hal yang sangat prinsipil dan penting. Misalnya, sejauh mana hukuman fisik yang boleh kita berikan kepada anak.
Mungkin contoh seperti ini tampaknya sepele. Padahal, dalam prakteknya, seringkali suami isteri bertengkar sendiri hanya karena salah paham dalam menyikapi hukuman yang diberikan oleh pasangannya terhadap anak mereka. Dan kasus seperti ini banyak sekali terjadi. Akibatnya, tujuan pendidikan dalam rumah tangga yang hendak mereka capai justru berantakan, karena yang kemudian terekam dalam memori si anak justru pertengkaran kedua orang tuanya itu. Ini tentu saja kontraproduktif bagi perkembangan mental dan kepribadian seorang anak.
Selain itu, setiap hari atau satu minggu sekali, hendaknya setiap pasangan suami isteri memiliki waktu yang cukup untuk mendiskusikan perkembangan anak-anaknya. Mungkin saja ada hal-hal penting yang terjadi pada si kecil selama ayahnya di kantor.
Diskusi seperti ini bisa menjadi sarana evaluasi bagi setiap pasangan untuk melihat perkembangan anak-anaknya tahap demi tahap. Selain itu, diskusi seperti ini akan semakin memperkuat komitmen mereka dalam mendidik anak-anaknya sesuai dengan tujuan rumah tangga mereka yaitu menjadi keluarga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah dari Allah swt. (Ridwan)