Bagi keluarga muslim, sebuah rumah bukan hanya sekedar tempat melepas lelah, tetapi juga madrasah, tempat semua anggota keluarga belajar tentang banyak hal, dengan orang tua sebagai guru utamanya.
Sebagai sebuah madrasah, maka rumah yang kita tempati harus menjadi tempat yang nyaman untuk proses pembelajaran semua anggota keluarga. Setiap keluarga harus mendorong setiap anggota keluarganya untuk memanfaatkan waktu di rumah untuk belajar tentang banyak hal.
Berbeda dengan madrasah pada umumnya, dalam sebuah keluarga, sesungguhnya setiap orang bisa menjadi guru bagi anggota keluarga lainnya. Artinya, setiap orang bisa membagi ilmu yang dimiliknya dan menunjukkan nilai-nilai terbaik yang bisa dicontoh oleh anggota keluarga lainnya. Akan tetapi orang tua tetaplah menjadi guru utama dalam rumah tangganya.
Sebagai guru utama, orang tua harus menjadi teladan, contoh ideal bagi anak-anaknya. Mereka harus bisa menunjukkan semangat belajar yang tinggi di rumah sehingga anak-anak termotivasi untuk selalu belajar. Bagaimana mungkin seorang anak bersemangat belajar di rumah jika setiap saat ia melihat orang tuanya lebih senang menghabiskan waktu di depan televisi.
Bersahabat dengan Buku
Buku adalah gudang ilmu. Bermacam ilmu dan informasi bisa kita cari dalam buku. Orang-orang terdidik dan senang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah lepas dari buku. Oleh karena itu, sudah semestinya setiap keluarga muslim berusaha mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai buku sejak mereka masih kecil.
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan sikap mencintai buku pada diri anak-anak kita. Yang paling utama adalah orang tua harus menunjukkan terlebih dahulu rasa cintanya terhadap buku.
Bagaimana mungkin seorang anak bisa mencintai buku jika ia tidak pernah melihat orang tuanya membaca buku. Sebaliknya, jika seorang anak terbiasa melihat kedua orang tuanya begitu asyik menikmati buku setiap hari, maka akan lebih mudah bagi orang tua itu menularkan kebiasaan membaca buku kepada anak-anaknya.
Selain itu, sejak masih bayi, hendaknya orang tua sudah memperkenalkan buku kepada anak-anaknya. Saat ini, hampir semua toko buku besar menyediakan berbagai jenis buku untuk anak-anak, bahkan buku-buku untuk bayi yang terbuat dari bahan-bahan yang aman bagi mereka.
Buku-buku untuk bayi ini ada yang berbahan dasar kertas yang tebal, karet ringan sampai buku berbahan dasar kain. Dengan bahan dasar yang aman seperti itu, orang tua tidak perlu khawatir anaknya menggigit buku-buku itu.
Buku-buku jenis ini selain berfungsi sebagai mainan juga dimaksudkan untuk memperkenalkan bentuk buku kepada mereka. Dengan mengenalkan buku sebagai mainan mereka, diharapkan mereka akan mengenal buku sejak dini, sehingga mereka bisa mencintainya. Bukankah pepatah kita mengatakan, tak kenal maka tak sayang?
Untuk anak-anak yang sudah lebih besar atau sekitar dua tahun keatas, kita sudah bisa membelikan mereka buku anak-anak dengan bahan dasar kertas seperti buku pada umumnya. Mereka biasanya menyukai buku-buku dengan gambar-gambar besar penuh warna dan sedikit huruf. Hampir semua penerbit buku menerbitkan buku untuk balita dengan gambar penuh warna dan sedikit huruf.
Cara lain menumbuhkan rasa cinta kepada buku adalah dengan membacakan buku cerita kepada anak-anak. Kita bisa membacakan cerita dalam buku itu sambil menunjuk gambar-gambar yang ada dalam buku itu. Meskipun buku yang kita bacakan sangat sedikit ceritanya, kita bisa menambahkannya dengan cerita kita sendiri, sehingga fungsi cerita dalam buku itu hanya sebagai guide atau penunjuk yang bisa kita kembangkan sendiri.
Membacakan cerita kepada anak-anak selain bisa menumbuhkan rasa cinta mereka kepada buku, juga bisa kita manfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dan mengajarkan banyak hal kepada anak-anak, termasuk menyelipkan do’a-do’a pendek dalam cerita itu.
Meskipun pada usia dua tahun lebih kita sudah memberikan buku dengan bahan utama kertas, tetapi akan lebih baik jika buku-buku itu tidak kita pisahkan dari mainan lainnya. Mengapa demikian, karena dunia anak-anak adalah dunia mainan. Dengan meletakkan buku di tengah mainan mereka, maka mereka akan terus dekat dengan buku. Ingat, anak-anak belum bisa membedakan antara mainan dengan buku. Artinya, mereka menganggap buku adalah salah satu mainan mereka.
Cara lain, kita pun bisa meletakkan buku yang kita baca sendiri di tempat-tempat yang mudah dilihat anak-anak. Kita bisa meletakkannya di meja makan, di tempat tidur atau di dapur. Kita bisa melakukan itu sambil membacanya di depan anak-anak.
Selain itu, kita juga bisa mengajak anak-anak mengunjungi toko-toko buku dan meminta mereka memilih sendiri buku yang ingin mereka beli. Dengan begitu mereka merasa dihargai, sehingga kecintaannya terhadap buku semakin meningkat.
Jika anak sudah mencintai buku, apalagi keranjingan membaca buku, maka tidak sulit bagi orang tua untuk mengarah mereka dalam mencari ilmu di mana pun mereka berada. Dengan banyak membaca, insya Allah ilmu mereka akan mudah bertambah dan kedewasaan berpikir mereka akan tumbuh dengan baik.
Rumah Yang Penuh Do’a
Do’a adalah ruh ibadah. Dalam kehidupan seorang muslim, kita tidak bisa lepas dari do’a. Dalam berbagai kegiatan, kita disarankan untuk selalu berdo’a sebelum memulainya. Minimal kita membaca basmalah untuk memulai setiap pekerjaan.
Berdo’a juga merupakan salah satu cara terbaik yang bisa kita lakukan jika kita mengharapkan kebaikan atau ketika kita dilanda musibah. Orang-orang yang percaya bahwa oleh Allah swt. mendengar do’anya akan lebih tegar jiwanya dan hidupnya lebih tenang, karena percaya akan pertolongan Allah.
Oleh karena itu, sudah semestinya setiap keluarga muslim selalu berusaha menyuburkan do’a dalam rumahnya. Kedua orang tua harus menunjukkan pentingnya do’a bagi mereka.
Sebelum mengajarkan bacaan do’a, akan lebih baik jika orang tua menunjukkan bagaimana berdo’a di depan anak-anaknya di berbagai kesempatan, seperti selepas shalat, di meja makan atau menjelang tidur. Setelah menunjukkan cara dan bacaan do’a, barulah kita mengajarkan bacaannya.
Banyak cara mengajarkan anak-anak berdo’a. Bisa kita lakukan pada saat doa itu harus dilakukan, misalnya ketika mereka hendak makan. Kita bisa meminta mereka mengikuti bacaan (do’a) kita. Bisa juga di kesempatan lain, misalnya ketika kita sedang menidurkan mereka atau ketika kita sedang bermain dengan mereka.
Kita juga bisa mengajarkan doa atau mengingatkan hapalan do’a mereka ketika kita sedang membacakan buku-buku cerita. Saya biasa menyelipkan do’a yang sebenarnya tidak ada dalam cerita buku, ketika saya sedang membacakan buku untuk anak-anak saya. Dengan sedikit penambahan cerita, kita bisa membelokkan cerita yang membuat si tokoh dalam buku itu harus berdoa sebelum makan atau sebelum tidur.
Menyelipkan doa juga sering saya lakukan jika saya sedang bercerita tanpa buku kepada anak-anak. Do’a itu saya selipkan lewat tokoh yang harus berdo’a atau lupa berdo’a, tetapi kita hadirkan tokoh lain yang mengingatkan tokoh tadi untuk berdoa.
Misalnya, saya sedang bercerita tentang si kancil yang berhasil melarikan diri dari kejaran harimau. Di akhir cerita saya selipkan bagaimana si kancil mengucapkan syukur (hamdalah) kepada Allah karena selamat dari kejaran harimau.
Kemudian kita ceritakan bahwa karena lapar, si kancil pulang ke rumahnya dan minta makan. Disitulah kita selipkan do’a makan. Begitu pula jika si kancil merasa mengantuk dan ingin tidur. Disitu kita bisa selipkan do’a mau tidur. Kita bisa meminta anak kita mengajari si kancil bagaimana do’a sebelum makan jika dalam cerita kita si kancil belum bisa berdoa.
Buatlah Waktu Wajib Belajar
Meskipun kita harus berusaha menunjukkan kepada anak-anak bahwa belajar bisa dilakukan kapan pun, tetapi alangkah lebih baik jika kita juga memiliki waktu wajib belajar yang disepakati oleh semua anggota keluarga.
Waktu wajib belajar ini harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga, tidak terkecuali orang tua, kecuali jika orang tua tidak berada di rumah pada jam yang telah ditentukan.
Pada saat jam wajib belajar berlaku, sebaiknya kita mematikan televisi sehingga kegiatan belajar wajib ini tidak terganggu oleh acara televisi. Kalau perlu, telepon pun bisa kita matikan sesaat, kecuali jika telepon itu dimanfaatkan untuk hal-hal yang sangat penting.
Sebenarnya tidak ada patokan waktu ideal bagi keluarga untuk menetapkan jam wajib belajar ini, sepanjang semua anggota keluarga bisa menyepakatinya. Anda bisa memilih waktu setelah shalat maghrib sampai masuk waktu isya’. Waktu ini sebenarnya sangat bagus, tetapi sulit menyertakan orang tua yang bekerja karena biasanya mereka masih berada di perjalanan.
Jika semua anggota keluarga harus terlibat, mungkin waktu selepas isya atau pukul delapan malam bisa kita manfaatkan sebagai waktu wajib belajar. Waktu wajib belajar ini tidak harus lama. Cukup satu jam. Jika jam wajib belajar ini kita terapkan secara rutin dan konsisten, insya Allah rumah kita benar-benar bisa menjadi madrasah yang efektif bagi seluruh anggota keluarga.
Dengan adanya waktu wajib belajar, bukan berarti di luar waktu itu kita tidak perlu lagi belajar atau tinggal menonton televisi sepuasnya. Waktu wajib belajar hanyalah waktu yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan lain selain belajar. Artinya, di luar waktu itu, kita masih bisa memanfaatkan waktu untuk membaca buku, membantu PR anak-anak atau hal lain.
Yang penting, orang tua harus memberikan contoh yang baik untuk selalu memanfaatkan waktu di rumah untuk belajar, terutama dengan membaca buku-buku agama. Dengan begitu, anak-anak kita akan mudah mencontoh apa yang kita lakukan tanpa perlu kita bersusah payah menyuruh mereka. Wallahu a’lam bish-shawwab.